Subscribe via Email
Sekilas Sejarah Sumedang Larang
Warta Lingga Sumedang - Seorang Resi keturunan dari Galuh datang ke sebuah kawasan di pinggiran sungai Cimanuk, daerah Cipaku, Kecamatan Darmaraja, Sumedang sekarang. Kehadiran Resi yang bernama Prabu Guru Aji Putih ini, membawa perubahan-perubahan dalam tata kehidupan masyarakat setempat, yaitu telah ada dan dirintis oleh Prabu Agung Cakrabuana sejak abad ke delapan.
Secara perlahan-lahan dusun-dusun sekitar pinggiran sungai Cimanuk diikat oleh struktur pemerintahan dan kemasyarakatan. hingga berdirilah Kerajaan Tembong Agung
sebagai cikal bakal kerajaan Sumedang Larang di Kampung Muhara, Desa
Leuwihideung, Kecamatan Darmaraja sekarang. Prabu Guru Aji Putih
berputra Prabu Tajimalela. Menurut perbandingan generasi, dalam kropak
410, Prabu Tajimalela sezaman dengan tokoh Rgamulya (1340 - 1350)
penguasa Kawali dan tokoh Suradewata, Ayahanda Batara Gunung bitung
Majalengka.
Prabu Tajimalela naik tahta menggantikan ayahnya pada mangsa poek taun saka. Menurut cerita rakyat,
kepemimpinan Prabu Tajimalela sangat menaruh perhatian pada bidang
pertanian di sepanjang tepian sungai Cimanuk, peternakan dipusatkan di
paniis Cieunteung dan pemeliharaan ikan di Pengerucuk (Situraja).
Pada masa kekuasaan pernah terjadi pemberontakan disekitar Gunung Cakrabuana yang dilakukan oleh Gagak Sangkur.
Terjadilah perang sengit antara wadia balad Gagak Sangkur dengan Prabu
Tajimalela dengan kemenangan di pihak Prabu Tajimalela dan Gagak Sangkur
dapat ditaklukan.
Gagak
Sangkur menyatakan ingin mengabdi kepada Prabu Tajimalela. Kemudian
dilantik menjadi patih. Setelah itu, untuk menyempurnakan ilmunya Prabu
Tajimalela meninggalkan Keraton untuk melakukan tapabrata, untuk memperoleh petunjuk dan kukatan dari Yang Gaib, yang dikiaskan dalam ungkapan : Sideku
sinuku tunggal mapat pancadria, diamparan boeh rarang, lelembutan
ngajorang alam awang-awang, ngungsi angkeuhan nu can katimu.
Pada saat itulah kemudian ia tiba-tiba mengucapkan kata : Insun Medal Mandangan yang kemudian menjadi populer dengan sebutan Sumedang. Tahta kerajaan Sumedang Larang dari Prabu Tajimalela dilanjutkan oleh Prabu Gajah Agung, yang berkedudukan di pinggir kali Cipeles dengan gelar Prabu Pagulingan sehingga daerah tersebut saat ini di kenal sebagai nama Ciguling termasuk wilayah Kecamatan Sumedang Selatan.
Prabu Pagulingan digantikan oleh putranya dengan gelar Sunan Guling. Ia
berputra bernama Ratnasih alias Nyi Rajamantri diperistri oleh
Sribaduga Maharaja karena itu yang menggantikan Sunan Guling adalah adik
Ratu Ratnasih bernama Mertalaya sebagai penguasa ke empat Sumedang
Larang yang juga bergelar Sunan Guling.
Sunan
Guling digantikan putranya Tirta Kusumah yang dikenal dengan nama Sunan
Patuakan. Kemudian digantikan oleh adiknya Sintawati atau lebih dikenal
dengan Nyi Mas Patuakan. Ratu Sintawati berjodoh dengan Sunan Gorenda,
Raja Talaga putra Ratu Simbar Kecana dari Kusumalaya, putra Dea Biskala.
Dengan demikian ia menjadi cucu menantu penguasa Galuh.
Sunan
Gorenda mempunyai dua istri : Mayangsari Langlangbuana dari Kuningan
dan Sintawati dari Sumedang. Dari Sintawati putri sulung Sunan Guling
ini, Sunan Gorenda dikaruniai seorang putri bernama Setyasih, yang
kemudian bergelar Ratu Pucuk Umum.
Ratu
Pucuk Umum menikah dengan Ki Gedeng Sumedang yang lebih dikenal dengan
nama Pangeran Santri putra Pangeran Palakaran, putra Maulana Abdurahman
alias Pangeran Panjunan. Perkawinan Ratu Setyasih dengan Pangeran Santri
inilah agama Islam mulai menyebar di Sumedang.
Dari
perkawinan dengan Pangeran Santri, Ratu Pucuk Umum atau dikenal dengan
nama Ratu Intan Dewata dikaruniai 6 (enam) orang putra, salah satunya
Raden Angkawijaya, yang kemudian hari bergelar Prabu Guesan Ulun.
Pada 14 Syafar Tahun Jim Akhir kerajaan Padjajaran
runtag (runtuh) akibat serangan laskar gabungan Islam Banten,
Pangkungwati dan Angka. Runtuhnya Kerajaan Padjajaran waktu itu tidak
lantas menyeret Sumedang Larang ikut runtuh pula, karena sebagai
masyarakat Sumedang pada waktu itu sudah memeluk Islam. Dengan berakhirnya Kerajaan Sumedang, justru Sumedang Larang makin berkembang menjadi kerajaan yang berdaulat penuh.
Sebelum
Prabu Siliwangi meninggalkan Padjajaran mengutus empat orang
Kandagalante : Jayaperkosa, Sanghyang Hawu, Terong Peot, dan Nagganan
untuk menyerahkan amanat kepada Prabu Geusan Ulun, yaitu pada dasarnya
Kerajaan Sumedang Larang supaya menjadi penerus Kerajaan Padjajaran Mahkota dan atribut Kerajaan Padjajaran dibawa oleh Senapati Jayaperkosa dan diserahkan kepada Prabu Geusan Ulun yang merupakan legalitas kebesaran Kerajaan Sumedang Larang sebagai penerus Padjajaran.
Prabu Geusan Ulun yang dinobatkan pada 22 April 1578 adalah merupakan Raja Sumedang Larang terakhir, karena setelah itu Sumedang Larang berada di bawah naungan kerajaan Mataram. Pangeran Ariasuradiwangsa dari Sumedang Larang sebagai penerus Geusan Ulun (putra dari Ratu Harisbaya) 1620
berangkat ke Mataram, untuk menyerahkan Sumedang Larang berada dibawah
naungan Mataram. Dengan demikian sejak itulah Sumeang Larang terkenal
dengan nama "Priangan" artinya berserah dengan hati yang suci. Kedudukan penguasa Sumedang Larang menjadi Bupati Wedana.
Tahun 1681
Bupati Wedana Sumedang yaitu Pangeran Rangga Gempol III Kusumahdinata
yang dikenal dengan sebutan Pangeran Panembahan adalah Bupati Pertama
yang berani menentang pemerintahan VOC, agar kembali dari merdeka dan berdaulat untuk kemudian mempersatukan kembali daerah-daerah sebagian yang pernah dikuasai oleh Pakuan Padjajaran pada zamannya.
Tahun 1811 Bupati Wedana Pangeran Kusumahdinata IX atau dikenal dengan Pangeran Kornel dengan tegas menentang kerja Rodi yang dilakukan oleh VOC (Kompeni) VOC saat itu di pimpin oleh Gubernur Jendral H.W Daendels. Kerja Rodi membuat jalan dan menelan banyak korban ini membuka sarana lalu lintas Anyer-Panarukan untuk mengangkut rempah-rempah.
Peristiwa pembuatan jalan ini terkenal sebagai Peristiwa Cadas Pangeran.
Tahun 1888 Bupati Pangeran Aria Suriaatmaja atau dikenal juga sebagai Pangeran Mekah mengungkapkan kepada Belanda, bahwa Belanda harus memberikan kemerdekaan bagi bangsa Indonesia/Nusantara.
Hal ini dapat diketahui melalui literatur yang beliau tulis dalam buku dengan judul: Ditiung memeh Hujan
Pada zaman perjuangan kemerdekaan Indonesia di Jawa Barat, sewaktu pasukan-pasukan Divisi Siliwangi
kembali Hijrah, tepatnya pada tanggal 11 April 1949 terjadi
peristiwa-peristiwa bersejarah di Sumedang, di Kecamatan Buah Dua dan
begitu juga di Kecamatan Situraja, pertempuran melawan tentara Belanda.
Pada
era pembangunann mengisi kemerdekaan Indonesia tidak sedikit
putra-putri Sumedang telah mengukir namanya dalam catatan tersendiri.
Dari catatan tersebut Sumedang dapat disimpulkan sebagai kota yang
menyimpan nilai sejarah bangsa dan tidak mustahil Sumedang akan terus
melahirkan sejarah selanjutnya.
Untuk lebih jelas dan lengkapnya dapat dilihat di kitab cariosan prabu siliwangi di Museum Prabu Guesan Ulun Sumedang.
Tidak ada komentar: